Jumat, 05 Juni 2009

cerpen --Refleksi Kopi Tanpa Gula--

Matahari enggan memunculkan dirinya sejak tadi pagi. Langit biru yang menggelayuti tanah Kelapa Dua sudah jenuh rupanya menggembol butiran-butiran uap air. Semburat abu-abu kehitaman nampak rata di hamparan biru nan luas. Angin semilir yang membuai mata membuat orang-orang malas untuk keluar rumah. Alih-alih keluar rumah mereka lebih memilih menaikkan selimutnya lebih tinggi serta membenamkan tubuhnya lebih dalam.

Hari masih gelap. Dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 6 kurang 10 menit. Berarti waktu yang sebenarnya menunjukan pukul setengah enam karena ia sengaja mempercepat jamnya 20 menit agar ia tak berleha-leha mengerjakan semua pekerjaannya.

"Pak, kenapa hari ini hawa-hawanya malas sekali ya,..."
"Ndak boleh ngomong gitu ayo cepetan, sudah siang ini," 'Iya, iya nggak boleh malas ayo harus semangat' batinnya lirih.

Ia melangkahkan kakinya dengan cepat ditemani sang suami yang setia menjejeri perjalanannya sambil mendorong gerobak.

Hari berjalan lambat, karena jarang sekali orang yang mampir ke kedainya pagi ini. Biasanya waktu tak terasa begini lambat karena orang-orang kampung silih berganti datang berbelanja padanya. Biasanya ada saja yang mampir. Ada yang membeli nasi uduk, gorengan, atau hanya sekedar minum kopi panas. Baru jam setengah sembilan pagi. Rasanya ia sudah berjam-jam duduk di kedainya. Ngantuk yang sangat juga menyerangnya pagi itu.

"Uang yang terkumpul baru sepuluh ribu lima ratus rupiah, pak.." suara bu parmi memecah kesunyian.
"Ya disyukuri saja bu, nanti juga akan bertambah.. sabar,"
"Oya pak, kemarin Pak Jamiil minum kopi wis mbayar opo durung ya?"
"Belum bu, hhhh.." Pak Tejo menarik nafas, suaranya melemah.
"Kok ya begitu ya pak, sering sekali ndak mbayar, ibu bingung padahal katanya pimpinan sekolah modern dan lulusan universitas terkenal, kok ya kelakuannya sama saja sama langganan kita yang suka maen itu yo pak,"

"Mungkin lupa kali bu, kita tunggu saja mungkin orangnya bakal balik lagi.." tutur Pak Tejo miris, meskipun dalam hatinya ia menyangkal pernyataannya sendiri. Ia merasa kemungkinannya kecil sekali kalau Pak Jamil itu akan balik lagi dan membayar hutangnya.

"Yang ibu ndak suka la ya kelakuannya maen pergi aja gitu lo pak, bilang kek nanti ya bu, atau oh saya ndak bawa uang bu besok atau nanti saya kembali lagi, bu.. tapi ini ya maen ngeloyor aja. Mangkel aku pak,"

"Sabarlah kita doain aja bu.." jawab Pak Tejo bijak.
”Padahal pak'e, habis diminum langsung mbayar gitu apa berat ya. Dia bilang-bilang ibu katanya untuk menjaga kesehatan dia selalu mbawa gula dari rumah, sing gula jagung kui lo pak, ibu lihat dia itu selalu membawa-bawa gula itu di dalam kantongnya pak. Katanya mencegah penyakit di.. diabetes pak. Iya begitu katanya."

"Hhhh, kemarin pun dia ndak sendiri bu, setelah ibu pulang kawannya tuh datang bu. Ya mengopilah mereka berdua. Padahal bu, kawannya tuh sudah mau membayar lo, tapi ya nggak boleh sama dia, ‘biar saya saja, biar saya saja, begitu katanya’..."

"Oh ya pak, kok bapak baru bilang to. Aku iki pak, kalau inget aku harus bangun jam 3 pagi untuk nyiapin dagangan semua ini pak, rasanya aku iki kok ndak ikhlas ya pak sama kelakuan orang orang yang ndak mbayar itu pak, rasanya sakit hatiku pak, mereka tu saenak batuk'e dewe, kok ya tego gitu karo wong cilik..."

Matahari tepat berada di atas kepala. Cerah namun masih dengan angin yang membuat orang malas. Ia beres-beres dagangannya dan bergegas pulang. Hari itu berakhir dengan lelah. Bukan karena setengah hari bekerja di kedai untuk melayani pembeli tapi lelah hati karena dagangannya kurang laku. Sebenarnya ia bukan orang yang cepat putus asa. Ia hanya merasa lelah itu saja, dan merasa butuh hiburan. Baginya seorang manusia perlu dan wajar untuk sejenak merasa sedih tetapi kemudian ia merasa tak layak lagi untuk sedih.Ia berusaha tak ambil pusing untuk semua yang terjadi perihal dagangannya yang kurang laku karena baginya dagangan laku dan tidak laku adalah sudah biasa baginya. Semua disyukurinya meskipun kadang-kadang menggerutu juga karena banyak penghutang yang pura-pura lupa akan hutangnya.

Sesampainya di rumah biasanya ia segera menyiapkan masakan untuk keluarganya makan hari itu dengan menu seadanya tapi kali ini segera setelah mengganti baju rumah ia langsung menggelar kasur lantai untuk menonton suiletthh dengan berita hangatnya tentang dewi persik yang kontroversial itu.

”Nak, hari ini ibu nggak masak kau makan dagangan ibu saja hari ini ya.. dagangan kita kurang laku hari ini...” tak lama kemudian sudah terdengar haha hihi dari depan televisi disertai suara kerupuk yang dimakan dengan selera tingkat tinggi. Ah tak salah memang sebutan manusia adalah insan. Pelupa.

Bu Parmi dan Pak Tejo sehari-hari adalah penjual nasi uduk, makanan kecil dan minuman. Mereka menempati tanah kosong milik orang kaya dari kampung sebelah. Orang kaya itu berbaik hati mengizinkan mereka untuk menempati tanah tersebut untuk mencari nafkah. Sehari-hari mereka menggantungkan hidupnya dari berjualan dikedai kecil itu. Setiap pagi Bu Parmi berjualan nasi uduk ditemani sang suami sampai menjelang siang. Setelah siang dan dirasa waktu sarapan telah lewat mereka pulang kerumah. Biasanya didahului Bu Parmi lebih dahulu baru kemudian disusul Pak Tejo karena ia harus menyiapkan masakan untuk makan keluarganya hari itu. Setelah beristirahat sebentar dirumah, sisa hari itu akan di lalui Pak Tejo dikedai hanya untuk berjualan sekedar minuman. Sedangkan Bu Parmi berada dirumah untuk menyiapkan dagangan untuk esok harinya.

Menemui dan menghadapi berbagai macam orang adalah keseharian Bu Parmi dan Pak Tejo. Mereka sudah hapal benar watak dari pembelinya. Ada yang jujur, ada yang bermulut besar tapi bayarnya ogah-ogahan, ada yang suka berhutang lalu menunggu hutangnya sampai bertumpuk segunung baru dibayar dan bayarnya pun nyicil, ada yang benar-benar menjaga agar jangan sampai berhutang walaupun cuma seperak, ada yang tega pergi begitu saja setelah makan atau minum dikedainya. Yah macam-macam lah watak orang. Ia sudah maklum. Kadang ikhlas kadang menggerutu.

Hari minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Apalagi ia dengar dari tetangga sebelah bahwa minggu besok akan ada kerja bakti di sekitar rumahnya. Pasti akan ada banyak orang yang mampir ke kedainya.

Bu Parmi membuat makanan agak banyak hari ini karena ia berharap dagangannya akan laku. Semua orang sibuk berwara wiri kesana kemari. Hari itu Bu Parmi juga sibuk sekali melayani pembelinya.

”Wah Pak’e lihat Pak Jamiil menuju kemari pak,” Bu Parmi bersuara agak ditahan.
”Iya bu, kalau dia beli sesuatu nanti akan saya ingatkan hutangnya yang kemarin-kemarin, tenang saja bu.”

”Tapi inget pak’e jangan keras-keras kasihan nanti dia malu.”
Nggak, tenang saja.. wis
Pak Jamiil berjalan mendekat kearah gerobak Pak Tejo. Pak Tejo menyapanya ramah,”Assalamu’alaikum Pak, habis kerja bakti dimana pak, eh maksud saya dibagian mana?”

”Di depan gapura sana..pak, huh capek… saya cuma sendirian lo disana. Disini kok orangnya banyak sekali, kenapa nggak dibagi rata. Ayo!! ada yang menemani saya mengecat gapura ya? Teriak pak Jamiil pada sekumpulan orang yang sedang membersihkan selokan disekitar situ. Ketika Pak Jamiil bersuara orang-orang disana menoleh padanya, semuanya diam berpandang-pandangan lalu saling berbicara satu sama lain, kamu saja kamu saja. Mereka iri-irian. Tidak mau menemani Pak Jamiil mengecat gapura.

”Oya pak, saya kesini mau numpang ke kamar mandi ya?” kembali ia menoleh pada Pak Tejo
”Silahkan pak..” jawab Pak Tejo.
Bu Parmi menyenggol lengan suaminya dan membuka suara, ”Oalah pak kirain...”
Pak Jamil membuka pintu toilet dan berjalan ke arah pasangan Bu Parmi dan Pak Tejo.

”Sudah selesai pak?” sapa Bu Parmi pada Pak Jamiil sambil melirik kearah suaminya.

”Sudah bu, terimakasih.” ia berlalu. Bu Parmi cemberut. Pak Tejo melongo menarik nafas.

”Aduuuhh... aduhhh,” tiba-tiba terdengar suara mengaduh dari arah kamar mandi sambil terlihat orang tunggang langgang menguncang-guncangkan kakinya panik. Celananya masih belum dikancingkan dengan sempurna.

”Ada apa, ada apa Bakri, bikin orang kaget aja...” semua mata memandangnya karena teriakannya menarik perhatian semua orang yang berada disitu. ”Iya nih dasar...” yang lain menimpali.

Sehabis pak Jamiil keluar dari toilet rupanya ia yang dari tadi sudah menahan ingin buang hajat langsung menyerbu toilet.

”Semut.. se semut...banyak sekali itu di dalam kamar mandi,hihiii..” ia bercerita sambil bergidik. Ngeri saya... hihihiiii, baru kali ini saya melihat semut berkerumun segitu banyak.”

"Oalah Ri..Ri kirain opo to, ketemu semut aja kayak habis ketemu macan. Dasar nggak waras..." Bu Parmi bersungut-sungut.